SURON.CO, Surabaya – Pemkot Surabaya bergerak cepat untuk mengatasi kenaikan harga cabai. Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya, harga cabai dari petani mencapai Rp 70.000 per kg pada Minggu (28/7). Sedangkan, per Senin (29/7) harga cabai menurun, yakni Rp 69.000 per kg.
Kepala Dinas ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya. Antiek Sugiharti mengatakan, melonjaknya harga cabai disebabkan faktor iklim. Yakni kekeringan di daerah penghasil, serta adanya serangan hama.
Di sisi lain, para petani di daerah penghasil baru selesai melakukan proses tanam, maka memerlukan waktu untuk berbuah atau panen. “Untuk mengetahui, bagaimana kondisi harga, kita rutin melakukan pengecekan harga pangan di pasar,” tutur Antiek, Selasa (30/7).
Ia mengungkapkan, kebutuhan cabai besar di Kota Surabaya sebanyak 270 tonper bulan, dan cabai rawit sebanyak 391 ton per bulan. Untuk memenuhi kebutuhan cabai, Surabaya mendapat pasokan dari daerah penghasil. Seperti dari daerah Kediri, Malang, Blitar, dan sebagian dari Provinsi Jawa Tengah.
Untuk menambah pasokan, Pemkot Surabaya juga memanfaatkan lahan bekas tanah kas desa (BTKD) dan hutan raya yang memungkinkan untuk dilakukan penanaman. Hal tersebut tidak dilakukan sendiri, DKPP Kota Surabaya menggandeng kelompok tani (poktan).
“Petani yang kita dorong, ada di Made, Pakal, dan Lakarsantri. Kita juga mendorong petani urban farming yang menanam di pekarangan rumah, atau yang memanfaatkan lahan fasum atau fasos itu,” terangnya.
Ia menambahkan, upaya yang dilakukan Pemkot Surabaya untuk mengikis tingginya harga cabai di pasar adalah mengatur pola tanam. Kegiatan tanam cabai ini dilakukan bersama poktan dan petani urban farming.
Ketua Asosiasi Petani Cabai Indonesia (APCI) Kabupaten Kediri Suyono menyampaikan, saat ini tanaman cabai rawit merah di dataran tinggi banyak yang mati dan dibongkar, akibat dari dampak kekeringan. Sedangkan di dataran rendah, masih musim tanam. “Pada masa vegetatif banyak serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) khususnya virus dan trips, sehingga mengganggu masa pertumbuhan,” kata Suyono.
Sedangkan untuk produksi cabai rawit, saat ini di dataran tinggi Jawa Timur, kurang 5-12 persen sudah memasuki masa akhir masa panen. “Adapun panen saat ini di dataran rendah masih spot-spot dikarenakan masa tanam mundur pengaruh iklim. Selain itu, saat ini sudah ada serangan Jamur Colletotrichum capsici (antraknosa) dan lalat buah juga berpengaruh mengurangi produksi,” ujarnya.
Dengan adanya penurunan produksi, maka harga menjadi naik mulai akhir Juni sampai saat ini. Diprediksi harga rata-rata masih tinggi sampai minggu ke-3 bulan Agustus 2024, dikarenakan ada jeda masa panen.(*)