Hasrat Kekuasaan
SURON.CO – Keinginan untuk berkuasa telah ada sejak manusia pertama di bumi. Setiap manusia, dalam dirinya, memiliki kehendak berkuasa yang disebut Friedrich Nietzsche (1844-1900) sebagai der Wille zur Macht (hasrat berkuasa).
Kekuasaan pada dasarnya adalah hasrat untuk mendominasi pihak lain serta menundukkan mereka dibawah pengaruh dan kontrolnya. Dorongan berkuasa dapat menjelma dalam berbagai bentuk bergantung kepada kualitas dan kapasitas individu tersebut. Bentuknya pun dapat berupa tindakan kesewenangan dalam kehidupan sosial.
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Indonesia adalah negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menjelaskan: Kedaulatan berada ditangan rakyat, maka konsep bernegara yang dipilih bangsa Indonesia ini seharusnya diterjemahkan dengan pengertian sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kekuasaan rakyat inilah yang menjadi sumber legitimasi dan legalitas kekuasaan negara. Secara universal pemilu adalah instrument untuk mewujudkan kedaulatan rakyat melalui pemerintahan yang sah serta mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Pemilu yang sukses juga harus memenuhi asas Luber dan Jurdil dalam prosesnya. Menurut Jimly Asshiddiqie, “asas luber menyangkut sifat objektif yang harus ada dalam proses pelaksanaan atau mekanisme Pemilu, terutama pada saat seseorang melaksanakan hak pilihnya, sedangkan asas Jurdil terutama terkait dengan sikap subjektif penyelenggara dan pelaksana Pemilu yang harus bertindak jujur dan adil”.
Demokrasi memberikan kebebasan penguasa yang memerlukan kerangka aturan sehingga dapat diselenggarakan dengan tertib dan beraturan. Aturan juga berfungsi sebagai pengimbang kebebasan sehingga tidak ada kekuasaan mayoritas.
The Most Powerfull Man in The Country
Awalnya Jokowi muncul sebagai representasi dari demokrasi akar rumput. Perjalanan dari seorang pengusaha mebel yang polos dan merakyat menjadi wali kota Solo hingga akhirnya menjadi Presiden. Kesederhanaan Jokowi memberi harapan besar untuk membawa rakyat Indonesia lebih makmur dan sejahtera.
Revolusi Mental adalah jargon Jokowi diawal kepemimpinannya, menyebut karakter orisinil bangsa yaitu santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. Penjelasan tersebut diberikan Jokowi menjelang dilantik sebagai presiden menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), saat diskusi yang dipandu oleh presenter Najwa Shihab di Balai Kartini, Jakarta, Jumat, 17 Oktober 2014.
Banyak yang terbius dengan karakter Jokowi, namun penilaian itu perlahan luntur seiring perubahan kebijakan dan pemerintahannya. Nilai-nilai esensial revolusi mental dinodai sendiri. Kini tinggal retorika yang memuakkan dan tampilan neo orde baru yang melebihi kesewenang- wenangan Suharto.
Nepotisme dan politik dinasti melalui cawe-cawenya mendukung putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden melalui putusan “akrobatik” Mahkaman Konstitusi (MK) yang mengubah syarat capres dan cawapres. Skenario sudah dibuat sejak awal dengan keberadaan “sang paman” Ketua MK Anwar Usman berlanjut dengan putusan Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang menilai Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya. Publik mengkritik keras, sayangnya Jokowi menganggap enteng bahkan seakan menantang dengan menyebutkan presiden boleh memihak dan berkampanye mendukung paslon tertentu.
Keprihatinan banyak kalangan, termasuk para guru besar dan akademisi ditambah tindakan KPU menerima pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran yang ternyata juga melanggar etika menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidak membuat sikap Jokowi bergeming, ibarat nasi telah menjadi bubur, segala rekayasa dan kecurangan yang telah menjadi agenda besar 2024 harus dijalankan secara sempurna.
Rem Blong Kekuasaan
Banyak orang meyakini Jokowi tidak akan membangun dinasti politik, bahkan periode ke 2 jabatannya membuktikan ia sangat powerfull mendapat dukungan rakyat. Jokowi dianggap telah berhasil menjembatani kesenjangan politik di Indonesia. Politik akomodatif melalui Kabinet Indonesia Maju (KIM) ternyata menjadi bagian grand design membangun politik dinasti. Tidak tanggung-tanggung, lawan politiknya seperti Prabowo dan Sandiaga Uno mendapat “kesempatan” menjadi menteri. Otomatis menghilangkan kekuatan oposisi dan strategi ini ternyata juga efektif untuk menyandera sebagian besar para politikus serta profesional oportunis dalam kepesertaan “bancaan proyek”. Pengangkatan AHY yang awalnya oposisi menjadi Menteri disisa kabinet yang kurang dari satu tahun disaat momentum pilpres seakan menegaskan bahwa politik dinasti itu hal lumrah seperti halnya Megawati mendorong Puan dan SBY mengkader AHY dalam dunia politik.
Kepiawaian Jokowi dalam membangun koalisi hanyalah salah satu upaya memuluskan berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Presiden berupaya agar DPR mendukung UU Cipta Kerja. Aturan ini mengoreksi sejumlah undang-undang yang dianggap birokratis sehingga menyulitkan investasi. UU Cipta Kerja secara “brutal” mengabaikan tata kelola, termasuk peraturan yang menjaga lingkungan, dengan atas nama pembangunan. Begitupula Omnibuslaw UU Kesehatan yang prosesnya instan dan tidak melibatkan banyak stakeholder, hanya untuk membangun ekosistem health industry yang berakibat Indonesia menjadi “market” kapitalisme dan liberalisme global.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, Jokowi tampaknya mengharapkan pembangunan IKN menjadi “gong” dari warisan infrastruktur yang telah dia bangun secara masif selama 10 tahun terakhir. Jokowi memang dinarasikan sebagai Presiden Indonesia yang berhasil membangun infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan laut, pembangkit listrik di seluruh Indonesia.
Peneliti politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menilai banyak dari warisan pembangunan (infrastruktur) Jokowi tidak mencerminkan proses yang demokratis dan justru mencerabut hak masyarakat terdampak. Proyek IKN polanya serupa dengan yang terjadi dalam proyek-proyek investasi di Pulau Rempang, Desa Wadas, Air Bangis, Mandalika, dan lain-lain. “Partisipasi [dalam proyek IKN] itu sangat elitis, idenya tidak didialogkan, setelah idenya jadi kebijakan baru didialogkan. Ini adalah gaya-gaya otoriter. Dia [Jokowi] tidak menganggap serius eksistensi masyarakat dan alam di IKN,” kata Firman kepada BBC News Indonesia. “Dalam banyak aspek, [IKN] ini suatu refleksi, cerminan bagaimana nilai-nilai demokrasi itu luruh dari praktik politik yang terjadi kurang lebih 10 tahun ini,” tutur Firman.
Jokowi berhasil memanfaatkan isu kemiskinan sebagai kunci strategi politiknya. Ia secara alami bergabung dengan para miliarder, namun masyarakat miskin tetap menjadi fokusnya, dan pemerintahannya telah membuat banyak program untuk membantu mereka. Dalam tulisan saya sebelumnya, kemiskinan memang sengaja diciptakan dan dipelihara oleh penguasa kemudian mengikat kelompok masyarakat ini melalui ketergantungan program bansos, BLT dan program sejenisnya.
Anggaran perlindungan sosial 2024 sebesar Rp 496,8 triliun sejak akhir November 2023 telah melampaui batas kewajaran dan narasi “perlunya keberlanjutan” melalui dukungan rakyat pada pasangan Prabowo Gibran menjadi “message” yang dengan mudah disampaikan secara pragmatis.
Di bidang hukum Jokowi berkontribusi dalam pelemahan KPK. Pada akhir periode pertama pemerintahannya usaha merevisi UU KPK berhasil.. Sejak saat itu, independensi KPK hilang. KPK berada di bawah presiden dengan anggota Dewan Pengawas KPK dipilih oleh kepala pemerintahan. Para penyidiknya pun menjadi aparatur sipil negara. Pelemahan KPK menjadi hal penting karena sesungguhnya kekuasaan itu cenderung tidak suka pemberantasan korupsi dan upaya tersebut harus mudah dikontrol oleh penguasa.
Melawan Hegemoni Kekuasaan : From small steps, you can create a big impact. Garbage in garbage out, apa yang dimulai dari kebusukan (sampah) akan menghasilkan kebusukan (sampah) pula. Kita tidak ingin proses politik untuk menghasilkan kepemimpinan yang legal dan mendapat legimitasi rakyat dirusak dengan kepentingan individu/ kelompok sehingga hanya melahirkan kepemimpinan otoriter dan mendukung KKN sebagaimana periode Orba.
Konspirasi kebohongan sebelum, saat dan sesudah Pilpres yang direncanakan dan mendapatkan legimitasi penguasa akan membuat Pilpres hanyalah sandiwara belaka sebagaimana kita saksikan selebrasi kemenangan berdasar hasil quick count yang direkayasa untuk memenangkan paslon dukungan istana, Prabowo – Gibran. Kericuhan dalam penghitungan suara walaupun data realnya diperbaiki sebaik apapun semestinya tidak akan bisa dipercaya ketika prosesnya sejak awal bermasalah.
Perlawanan yang muncul atas sikap otorianisme Jokowi sepertinya akan terus membesar bak snowball effect, semakin lama bola salju menggelinding akan semakin besar dan sulit untuk dihentikan. Berbagai kelompok masyarakat maupun individu telah memulai perlawanan. Buat langkah sekecil apapun yang membuat kita tetap bergerak melawan. Jika kita terdiam, takut berbeda dengan penguasa, maka tidak akan pernah berhasil mencapai tujuan berbangsa yang kita inginkan. Setiap langkah akan menciptakan progress yang akan menjadi momentum dan memberikan dampak berarti.
Jika ketakutan telah menenggelamkan kejujuran maka kebohongan akan merajalela. Ketika keberanian telah lenyap maka kebohongan akan melenggang kangkung menjadi KEBENARAN SEMU.
Penguasa mungkin telah berhasil menyandera musuh-musuh politiknya namun tidak akan pernah berhasil mendapatkan kekuasaan tanpa dukungan rakyat. Kecurangan/ pelanggaran yang terjadi secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) hanya bisa terjadi dengan peran penguasa. Ambisi kekuasaan sudah berubah menjadi KEJAHATAN dan hanya satu kata yang pantas terucap : LAWAN !!!
Oleh: Agung Sapta Adi, Praktisi kesehatan, pegiat sosial dan kemasyarakatan