SURABAYAONLINE.CO — Hingga usia hari ini, setidaknya sudah 45 kali saya mengikuri ritual tahunan Idul Adha. Idul Qurban. Itu jika dihitung sejak usia 5 tahun.
Dan, sampailah pada perenungan saya:
“Bahwa selama ini, kita telah terbalik dalam mengajarkan hakikat perayaan dua hari raya itu. Idul Fitri dan Idul Adha”.
Sejak balita saya sudah akrab dengan kalimat itu. Anda pun demikian. Pada hari tersebut yang melekat dalam pikiran, memori, dan otak kita adalah gema takbir.
Allahu akbar. Allahu akbar. Allaahu akbar. Wa lillaahil hamdu.
Tanpa tahu arti kalimatnya, siapa pun akan tergetar hatinya. Dan di hari ini, kita masih merasakan momentum hari berkurban itu.
Namun, sampai hari ini juga, ada hal mendasar yang terlewat untuk diajarkan oleh para guru-guru kita. Para ustadz kita. Di mimbar ini.
Berulang kali mereka di setiap tahun berkata: “korbankanlah.. mari kita korbankan sesuatu yang kita cintai.. sebagai mana pengorbanan Nabi Ibrahim dan Ismail. Dan seterusnya”.
Padahal pengorbanan yang disimbolkan dengan menyembelih sapi dan kambing itu hanyalah out put-nya saja.
Para kyai dan guru-guru itu lupa mengajarkan. Bahwa peringatan Qurban pada hakikatnya adalah: ritual dalam rangka meneguhkan kembali Tauhid. Sebuah pilar dasar untuk menegakkan bangunan aqidah dan keimanan.
Mana mungkin seorang Ibrahim siap berkorban tanpa landasan tauhid yang kokoh. Dan ajaran tauhid itulah yang ditamkan kepada putranya, Ismail.
Dalam setiap lantunan takbir itu kita juga hafal kalimat sambunganya:
Laa ilaaha illallahu wahdah. Shodaqo wa’dah. Wa nashoro abdah. Wa ‘azaa jundah. Wa hazamal ahzaaba wahdah.
Kalimat itu awalnya diucapkan Rasulullah ketika Fathu Makkah. Ketika Baginda kembali membebaskan tanah kelahirannya, setelah hidup dalam tekanan, represi, dan pengusiran kaum Quraisy.
Bangsa Arab pun bisa disatukan Baginda. Tiada lain dan bukan kecuali dengan kalimat tauhid itu.
Lalu pada momentum Idul Adha ini kita juga kembali akan merenungkan sejarah bangsa kita. Kebetulan bersamaan dengan hari peringatan kemerdekaan RI ke 74. Pada 17 Agustus 2019.
Sejarah membuktikan bahwa, kemerdekaan kita diraih melalui perjuangan berdarah-darah oleh para syuhada.
Adakah kalian bertanya:
Dari mana pengorbanan mereka itu muncul?
Dari mana 20 ribu rakyat Surabaya bergerak tanpa gentar dan gugur menghadapi Inggris saat itu?
Tak lain karena landasan tauhid yang membara.
Ketika Bung Tomo menggelorakan semangat dengan pekik tauhid: Allahu Akbar. Sama seperti yang kita dengungkan di hari-hari Ied.
Lantas dari mana asalnya kalian hari ini begitu alergi dengan kalimat tauhid. Begitu gampangnya mengumbar tuduhan radikal. Kepada siapa saia yang membawa atribut ataupun tulisan kalimat tauhid.
Wahai saudara-saudaraku,
Meskipun mereka membakar kain-kain bertuliskan laa ilaaha illa allah itu. Atau menurunkannya dari dinding-dinding rumahmu. Tak perlu risaukan itu.
Tulislah dengan jelas kalimat tauhid itu di kepalamu. Lalu bakarlah dalam hati dan jiwamu. Kemudian teguhkan dalam sikap hidup dan tindakanmu…!
Saya mohon maaf apabila khutbah saya ini terasa keras. Lalu ada yang mengatakan saya radikal.
Ini bukan soal moderat atau tidak.
Sudah menjadi kenyataan bahwa:
Alhaq. Kebenaran itu. Walau disampaikan dengan lembut. Bersastra indah. Selembut sutera. Tetap akan dicap radikal.
Begitulah pola dan tipikal kebathilan. Hal itu telah berulang sejak Musa, Isa, hingga Rasul Muhammad. Dan akan terus berulang ilaa aakhirizzaman.
Ketahuilah wahai saudaraku. NKRI ini sesungguhnya ditegakkan dengan tauhid. Ini adalah fakta sejarah. Dan bukan hendak mendikotomi atau menegasikan peran-peran anak bangsa lainnya.
Penegasan itu tidak hanya ditunjukkan oleh pengorbanan jiwa raga para pahlawan. Tetapi juga termaktub dalam naskah Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Pada alinea ke tiga dikatakan:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Jelas sekali. Kalimat pertama tersebut merupakan manifestasi dari semangat tauhid para pendiri republik ini.
Suatu susunan naskah deklarasi yang sarat makna, terustruktur rapi, ringkas, mudah dipahami oleh siap saja, serta indah bahasanya.
Silahkan datangkan kepada saya 50 profesor jaman now. Untuk menyusun naskah semacam itu, pasti tak akan mampu.
Allahu Akbar. Allahu Akbar. Walillahil hamdu. (Anab Afifi)