SURABAYAONLINE.CO-setelah bertemu dengan wakil ahli waris HA Jahja kuasa hukum Mariyadi memutuskan untuk menuntut pembatalan sertifikat lahan PDAM Surabaya di Gubeng. “Karena belum ada itikad baik hingga saat ini saya putuskan untuk pembatalan sertifikat,” katanya Jumat (27/7).
Keputusan itu diambil berkat arahan Satgas Saber Pungli Kemenko Polhukam. “Saya sudah kami konsultasikan sekaligus arahan,” paparnya.
Menurutnya lahan yang kini ditempati oleh PDAM Surya Sembada Surabaya oleh ahli waris belum pernah dijual oleh ahli waris. Kejanggalannya adalah mengapa bisa bisa terbit sertifikat atas nama PT Sinar Galaxy yang kemudian dijual ke Pemkot Surabaya?
Dengan terbitnya sertifikat itu artinya penerbitannya tidak sah dan kuat dugaan ada suap atau pungli ketika proses pembuatan sertifikatnya.
“Karena itulah saya akan mengajukan permohonan pembatalan sertifikat atas lahan yang saat ini berdiri dengan megah Gedung PDAM Surabaya,” kata Mariyadi.
Sengketa atas lahan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan MA sudah mengeluarkan putusan bahwa lahan tersebut milik ahli waris melalui surat Nomor 340 KSIP/1981.
Dua kali eksekusi kemudian tidak berhasil dengan alasan bahwa objek sengketa tidak diketemukan, hal yang aneh mengingat luasnya lahan yang dulunya tanah Eigendom No 11404 sekitar 4,8 ha.
Ahli waris tak putus asa dan terus memperjuangkan haknya. Maka pada tanggal 28 Februari 2019 dilaksanakan pengukuran ulang dan hasilnya luas lahan di lahan yang ditempati PDAM Surabaya ahli waris punya sepuluh ribu meter. Pengukuran itu dilaksanakan oleh BPN 2 Surabaya bersama Satgas Saber Pungli Pusat Kemenko Polhukam.
Hasil pengukuran itu tertuang dalam surat bernomor 348/200-3580/II//2019 ditujukan kepada Sekretaris Satgas Saber Pungli Pusat Kemenko Polhukam Irjen Pol Dr Drs Widiyanto Poesoko SH MSi dasn ditembuskan kepada Menko Polhukam, Kakanwil BPN Jatim, Walikota Surabaya, Assisten I Pemkot Surabaya, PN Surabaya, PDAM Surabaya, Kepada DPBT Kota Surabaya dan Kuasa Hukum PT Sinar Galaxy.
Menurut HA Jahja, para ahli waris saat ini kehidupannya sengsara. “Bisa dikatakan mereka saat ini hidup di bawah garis kemiskinan, ada yang jadi pemulung, kerja serbutan, juga ada yang tinggal di gubuk,” katanya.(*)