SURABAYAONLINE.CO-Peradaban kuno seperti apa yang mengukir kendi batu ukuran besar untuk menyimpan mayat yang tersebar di wilayah Laos? Itulah pertanyaan arkeologis yang belum terpecahkan hingga kini.
Tersembunyi di balik hutan lebat, peperangan dengan sisa-sisa ranjau serta bom yang belum meledak, situs kendi batu itu tetap terjaga kerahasiaannya selama ini.
Namun penelitian yang dipimpin tim dari Australia kini menawarkan petunjuk menarik.
Mereka menduga kendi-kendi itu terkait dengan praktik penguburan kuno, meski tidak diketahui pasti tujuan mereka yang membawa benda-benda ini ke sana.
Awal tahun ini, tim arkeologi Australia dan Laos dengan menggunakan pemetaan geospasial berusaha mengungkap lokasi-lokasi penemuan baru.
“Ada semacam pola bagaimana kendi-kendi itu ditempatkan. Yaitu di sepanjang bukit atau di posisi yang menonjol,” jelas Nick Skopal, mahasiswa PhD dari Australian National University.
Skopal dan arkeolog Laos Souliya Bounxayhip memetakan 15 situs baru dan menambah database lebih dari 100 situs kendi yang dikenal.
Persebaran situs ini mencakup ratusan kilometer persegi di bagian timur laut Laos.
“Lokasinya memiliki pandangan ke arah tanah pertanian atau daerah dataran rendah, yang menunjukkan dimana lokasi hunian berada,” kata Skopal.
Sebelumnya para arkeolog menemukan sejumlah tanda bekas tempat tinggal manusia di dekat situs, tetapi hal itu mungkin akan berubah.
“Kami memang menemukan tempat hunian yang terkait dengan satu situs – yaitu berupa sebaran tembikar,” kata Skopal.
Pemetaan ini merupakan bagian dari penelitian Universitas Nasional Australia dan Universitas Melbourne, bekerja sama dengan Pemerintah Laos.
Namun sampai sekarang, pertanyaan tentang siapa orang-orang dengan peradaban ini tetap menjadi misteri.
“Kita akan berpikir bahwa mereka itu hidup di dekat situs karena butuh upaya besar mengukir kendi dan menempatkannya di sana,” kata Louise Shewan dari University of Melbourne.
Pencarian untuk memecahkan misteri siapa yang mengukir kendi batu raksasa di Laos ini penuh tantangan.
“Ada romantika tersendiri,” kata Skopal kepada ABC. “Kecuali serangan kutu dan lintah yang tidak romantis.”
Lalu, ada pula gangguan ular dan sisa-sisa bom era perang.
Laos merupakan negara yang paling banyak dibom di dunia, selama kampanye rahasia badan intelijen AS CIA di sela-sela Perang Vietnam.
“Masih banyak bom curah yang tertinggal di hutan atau lahan pertanian,” kata Skopal.
Namun, sejarah CIA itu juga membuahkan hasil yang tidak terduga.
Salah satu situs yang dipetakan pada bulan Februari terungkap ketika seorang pilot CIA era Vietnam menyebutkan adanya kendi besar itu kepada peneliti Amerika.
Tidak ada catatan tentang situs ini yang disimpan oleh Pemerintah Laos dan UNESCO.
Tetapi melewati perjalanan yang dipandu penduduk setempat yang mengingat pesawat-pesawat Amerika, Skopal dan rekannya menemukan sejumlah kendi batu dekat bekas pangkalan udara rahasia.
“Cukup spektakuler. Kendi-kendi itu ada di bawah dan bekas pangkalan CIA berada di atas,” katanya.
Misteri kendi itu kini sedang dipecahkan dari berbagai segi.
Selain proyek pemetaan, tim Australia juga mengambil sampel tanah dari bawah kendi dan akan dianalisi secara optik.
“Teknik ini pada dasarnya memungkinkan kita mengetahui kapan terakhir kali tanah di bawah kendi itu terkena cahaya,” kata arkeolog ANU, Dougald O’Reilly.
“Begitu kendi ditempatkan di sana, tidak ada lagi cahaya yang mengenainya,” jelasnya.
Temuan tulang dan arang dalam kendi sebelumnya diperkirakan berasal dari era antara abad ke-9 dan ke-12.
Itu bisa berarti ada kaitannya dengan Kerajaan Angkorian, tetapi tidak jelas apakah kendi-kendi itu diukir saat itu atau sebelumnya.
Dr Shewan mengatakan gigi manusia yang ditemukan di dekatnya juga bisa membuka misteri kendi ini.
“Gigi mengalami mineralisasi pada usia berbeda, jadi jika kita menganalisis gigi berbeda kita bisa mendapatkan gambaran kehidupan dari usia nol hingga sekitar 16 tahun,” kata Dr Shewan kepada ABC.
“Sebagian besar kendi ini dibuat dari batu pasir atau batu kapur dan pada saat diukir, warnanya pasti sangat putih cerah,” kata Dr O’Reilly.
Tim peneliti Australia akan kembali ke Laos tahun depan untuk meneruskan penelitin mereka.(*)