SURABAYAONLINE.CO-Berdasarkan pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu udara kurang dari 15 derajat Celsius tercatat di Ruteng (NTT), Wamena (Papua), dan Tretes (Jawa Timur). Bahkan, pada 4 Juli lalu, suhu di Ruteng (NTT) mencapai 12 derajat Celsius.
Kondisi ini juga terjadi di beberapa lokasi di Pulau Jawa.
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, BMKG mencatat suhu di sejumlah area di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul mencapai 10-15 derajat Celcius.
Kemudian di Dataran Tinggi Dieng, Provinsi Jawa Tengah, suhu mencapai 14 derajat Celsius disertai penampakan embun es.
Adapun di Bandung, Jawa Barat, temperatur sempat menyentuh 16,4 derajat Celsius.
Oleh sebagian orang, situasi ini dikaitkan dengan fenomena Aphelion, yaitu jarak terjauh Bumi dari Matahari yang terjadi pada awal Juli.
Logikanya, semakin jauh Bumi dari Matahari, maka semakin dingin pula cuacanya.
Tapi benarkah demikian?
Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Mulyono R Prabowo, menepis penjelasan itu.
“Faktanya, penurunan suhu di bulan Juli belakangan ini lebih dominan disebabkan karena dalam beberapa hari terakhir di wilayah Indonesia, khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT kandungan uap di atmosfer cukup sedikit,” paparnya.
Menurut dia, rendahnya kandungan uap di atmosfer menyebabkan energi radiasi yang dilepaskan oleh Bumi ke luar angkasa pada malam hari tidak tersimpan di atmosfer dan energi yang digunakan untuk meningkatkan suhu atmosfer di atmosfer lapisan dekat permukaan bumi tidak signifikan.
“Hal inilah yang menyebabkan suhu udara di Indonesia saat malam hari di musim kemarau relatif lebih rendah dibandingkan saat musim hujan atau peralihan,” terangnya.
Selain itu, pada bulan Juli ini wilayah Australia berada dalam periode musim dingin dan sifat dari massa udara yang berada di Australia ini dingin dan kering.
“Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia (dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia) semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara yang cukup signifikan pada malam hari di wilayah Indonesia khususnya Jawa, Bali, NTB, dan NTT”, imbuh Prabowo.
embun es di Dieng?
Khusus soal embun es di Dataran Tinggi Dieng, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal, menyampaikan bahwa itu lebih disebabkan kondisi meteorologis dan musim kemarau yang saat ini tengah berlangsung.
“Pada saat puncak kemarau, memang umumnya suhu udara lebih dingin dan permukaan bumi lebih kering. Pada kondisi demikian, panas matahari akan lebih banyak terbuang dan hilang ke angkasa. Itu yang menyebabkan suhu udara musim kemarau lebih dingin daripada suhu udara musim hujan. Selain itu kandungan air di dalam tanah menipis dan uap air di udara pun sangat sedikit jumlahnya yang dibuktikan dengan rendahnya kelembaban udara,” paparnya.
Dataran tinggi, sambungnya, akan berpeluang untuk mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celsius karena molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah. Akibatnya, pendinginan akan lebih cepat terjadi.
Situasi ini menyebabkan air embun yang menempel di pucuk daun atau rumput akan segera membeku.
Di Indonesia, beberapa tempat pernah dilaporkan mengalami fenomena ini, yaitu daerah dataran tinggi Dieng, Gunung Semeru dan pegunungan Jayawijaya, Papua,” tambah Herizal.
Jadi apakah Aphelion berkaitan dengan cuaca di Indonesia?
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, menegaskan:
“Tidak ada hubungannya dengan aphelion, karena perubahan jarak matahari ke bumi tidak terlalu signifikan mempengaruhi suhu permukaan bumi.”(bbc)