SURABAYAONLINE.CO-Meski Kemenhub telah menyesuaikan tarif tiket pesawat, maskapai dinilai masih tetap mematok tarif di atas harga normal. Tiga maskapai asing kabarnya akan membuka rute di Indonesia. Apakah ada praktik kartel yang bermain?
Sejak menjelang lebaran 2019, publik mengeluhkan tarif tiket pesawat di Indonesia yang mahal. Bahkan harga tiket pesawat ke luar negeri lebih murah dibandingkan tiket dalam negeri. Kenaikan ini dinilai tidak wajar. Mei silam, dengan cepat Kementerian Perhubungan menyesuaikan tarif batas bawah dan atas tiket pesawat dengan daya beli masyarakat. Kebijakan ini diterapkan untuk tiket pesawat kelas ekonomi.
Pihak maskapai pun ditenggarai mematok tarif pada kisaran batas atas bagi para calon penumpangnya. Berdasarkan penelusuran DW Indonesia pada aplikasi penjualan tiket, harga tiket Jakarta – Balikpapan hari Jumat (21/06) dijual paling murah Rp 1,5 juta. Padahal biasanya harga tiket pada rute itu dijual Rp 900.000.
Menanggapi kenaikan tarif ini, Danang Mandala Prihartono, Corporate Communications Strategic Lion Air, menyatakan besaran tarif yang ditetapkan Lion Air sesuai dengan aturan regulator dan tidak menjual melebihi batas maksimum atau menjual masih berada di bawah koridor tarif batas atas layanan kelas ekonomi domestik.
“Dalam menentukan tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi domestik, Lion Air Group telah menghitung dan memberlakukan secara bijak. Harga jual tiket menurut aturan yang dibedakan sesuai jenis penerbangan yang menggunakan pesawat jet dan baling-baling (propeller),” terang Danan dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.
Menurutnya penetapan harga jual tiket merupakan implementasi dari berbagai komponen. Untuk tiket sekali jalan komponen-komponennya adalah tarif dasar berdasarkan jarak, government tax 10% dari tarif dasar tersebut, Iuran Wajib Jasa Raharja (IWJR), dan airport tax yang besarannya tergantung setiap bandara di masing-masing kota.
Praktik Kartel
Pasca Srwijaya Air diakusisi Garuda Indonesia praktis kompetisi penerbangan domestik hanya terfokus kepada Garuda Indonesia dan Lion Air Group. Terlebih lagi per tanggal 4 Maret 2019, maskapai asing Air Asia juga telah menyatakan pemberhentian penjualan tiket melalui Online Travel Agency (OTA). Kompetisi harga pun terkonsentrasi pada dua maskapai di atas.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, ikut mempertanyakan tingginya tarif yang ditetapkan oleh pihak maskapai. Pasalnya Kemenhub sudah menurunkan tarif batas bawah dan batas atas sebesar 12-16%. Namun Tulus menilai pihak maskapai tetap bermain di kisaran tarif batas atas, meskipun belum ada regulasi yang dilanggar terhadap batas atas tersebut.
“Kalau monopoli tidak ada, yang masalah (adalah) praktik kartelnya ada atau tidak. Ini ‘kan KPPU lagi menyelidiki itu sudah selesai apa belum. Kalau memang nanti menyimpulkan tidak ada pelanggaran kartel atau tarif tiket batas atas ya mau apa lagi. Karena memang hak maskapai,” terang Tulus, saat diwawancarai DW Indonesia.
Ia berpendapat bahwa saat ini kondisi maskapai di Indonesia tengah menurun. Ia pun khawatir jika penurunan harga tiket dapat berdampak ada masalah keamanan pesawat.
“Ini ‘kan satu sisi konsumen teriak tarif tinggi sekali, satu sisi maskapai juga teriak bahwa mereka rugi. Misalnya sudah jelas declare Air Asia rugi hampir 1 triliun, kemarin Lion Air baru mengajukan surat penundaan pembayaran untuk bandara, dan Garuda juga bleeding apalagi Sriwijaya, kita enggak mungkin menekan mereka bermain-main dengan tarif karena maskapai secara ekstrem sangat terkait dengan masalah safety,” kata Tulus menambahkan.
Datangkan maskapai asing
Menteri Perhubungan Republik Indonesia, Budi Karya Sumadi, menyebutkan ada tiga maskapai asing yang berencana membuka rute penerbangan di Indonesia. Pemerintah tengah mengkaji hal ini guna meningkatkan kompetensi harga tiket pesawat secara sehat. Hadirnya maskapai asing diharapkan dapat mendongkrak persaingan dan membuat maskapai domestik menurunkan harga jual tiketnya.
“Jadi spiritnya gini lah, jadi spirit-nya bukan asing tapi kompetisi. Air Asia sudah, tinggal menambah saja. Yang ada apa itu, Scoot sama siapa, ada tiga itu yang baru,” ujar mantan Dirut Angkasa Pura ini di Komplek Istana Kepresidenan, Senin (17/06) dilansir dari Republika.
Tulus pun menilai rencana ini juga tidak jadi jaminan akan turunnya harga tiket. Maskapai asing dinilai hanya akan membuka rute penerbangan di rute-rute yang umum dinaiki penumpang. Namun untuk rute-rute yang jarang penumpang, mereka tidak akan berani membuka sehingga harga tiket pun diproyeksikan tidak akan mengalami perubahan signifikan.
Dalam setiap penentuan harga tiket ada komponen yang harus dibayarkan penumpang namun tidak ditujukan kepada pihak maskapai melainkan pihak pemerintah, yaitu PPN (Pajak Pertambahan Nilai). “Banyak negara tidak ada PPN, misalnya PPN untuk avtur itu tida ada. Pemerintah itu berani enggak menghilangkan PPN avtur? Artinya pemerintah akan kehilangan pendapatan. Kalau maskapai yang ditekan terus untuk menurunkan tarif ya itu tidak fair. Pemerintah sendiri tidak mau kehilangan pendapatan, nyuruh mereka menurunkan tarif yang sangat mepet malah hampir rugi,” jelas Tulus.
Akibat mahalnya tiket pesawat, berimbas ke sektor lainnya seperti pariwisata. Keterpurukan pariwisata terjadi di sejumlah daerah seperti Sumatera Utara, Kepulauan Banda di Maluku, Batam, Kalimantan Selatan, Batam, dan Jawa timur. Turunnya angka wisatawan domestik maupun internasional ditengarai akibat harga tiket pesawat yang dinilai mahal.(*)