SURABAYAONLINE.CO— Konflik berkepanjangan di Afghanistan tidak saja menelan korban jiwa dan luka-luka serta hancurnya infrastruktur, tetapi juga runtuhnya kepercayaan pada sesama. Berbagai upaya dilakukan untuk mempertemukan kelompok-kelompok yang bertikai ini, termasuk yang diupayakan Nadhlatul Ulama sebagai salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia.
Lewat konsep Islam Nusantara, yang merupakan pengejawantahan praktik Islam yang moderat, toleran dan tidak menggunakan kekerasan itu, pada Juni 2014 dibentuklah “NU-Afghanistan” atau NUA. Hingga Juni 2019 ini NUA sudah dibuka di 22 dari 34 propinsi di seluruh Afghanistan dan didukung oleh lebih dari 6.000.
Dihubungi melalui telepon, Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Asia Pasifik & Afrika di Kementerian Luar Negeri Indonesia Dr. Arifi Saiman mengatakan kepada VOA, “Afghanistan merupakan ‘lesson learned’ atau contoh model bagaimana Nadhatul Ulama menjadi perekat diantara kelompok suku di sana. Selama ini kumpul di satu forum yang sama sangat sulit. Tetapi lewat kepengurusan NU-Afghanistan mereka bisa akur. Ini membuktikan bahwa konflik bisa diredam jika alat peredamnya pas dengan situasi.’’
Ia menambahkan, “Ada prinsip-prinsip NU yang disetujui dan jadi dasar dalam NUA itu, seperti bersikap moderat, menentang radikalisme, mengedepankan rekonsiliasi dan toleransi. Ini menjadi pintu masuk utama. Mungkin dianggap sepele, tapi dampaknya signifikan.’’
Intelektual muda NU Zuhairi Misrawi yang sempat mengikuti beberapa pertemuan NU-Afghanistan ini membagi kisahnya pada VOA.
“Saya pribadi memang berjumpa dengan para ulama yang mendirikan NUA itu dan ternyata pengaruhnya memang sangat luar biasa karena karena pengalaman NU di Indonesia untuk membangun masyarakat melalui pesantren, lembaga perekonomian dan kesehatan dan lain-lainnya; ikut memperkuat konstruksi bangunan sosial di Afghanistan. Jadi memang ini suatu sejarah yang penting bagi dunia, bahwa Indonesia dapat dijadikan role model dalam konteks pembentukan masyarakat sipil yang mendorong hidup damai, memperkuat demokrasi, pluralisme dan HAM.’’
Beragam upaya telah dilakukan untuk menyudahi konflik selama hampir 18 tahun di Afghanistan, baik lewat perundingan sebagaimana yang didorong oleh Utusan Khusus Amerika untuk Rekonsiliasi Afghanistan Zalmay Khalilzad; maupun jalur lain seperti pendidikan dan gerakan people-to-people yang digagas NU-Afghanistan.
“Kita harus tahu bahwa mereka ini sesama Muslim dan warga Afghanistan berkonflik karena ideologi politik dan faktor intervensi negara lain. Mereka jadi melupakan bahwa mereka itu satu agama, serumpun, satu bangsa dan sedianya dapat menjadi landasan membangun nasionalisme, dengan spirit cinta tanah air dan kebangsaan. Di Indonesia, agama konstruktif, dapat membangun kehidupan bermasyarakat; tetapi mengapa di Afghanistan agama justru digunakan sebagai alat konflik politik dan alat kekerasan dan terorisme. Pengalaman Indonesia ini yang mendorong Afghanistan belajar banyak,’’ ujar Zuhairi Misrawi.
Selain mengembangkan dialog, Nadhlatul Ulama juga memberikan beasiswa kepada anak-anak muda Afghanistan. Ketua PBNU Robikin Emhas kepada VOA mengakui bahwa jumlah beasiswa yang diberikan belum banyak, tetapi cukup signifikan untuk “mengembangkan moderasi Islam dan memupuk sikap toleran sejak dini.”
Tahun 2019 ini PBNU memberikan beasiswa untuk 40 mahasiswa dan 10 pelajar. “Yang mahasiswa kini antara lain belajar di Universitas Wahid Hasyim di Semarang dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.Juga ada di Bandung dan Malang. Yang pelajarnya di Pesantren Amanatul Umat di Mojokerto,” tambah Robikin Emhas.
Menurut Dr. Arifi Saiman, dialog dan pemberian beasiswa ini sangat efektif “untuk ikut memperkenalkan wajah Islam di Indonesia yang rahmatan lil alamin, yang mengedepankan toleransi pada sesama.” Ditambahkannya, banyak negara ingin membuka forum yang sama.
“Ada permintaan dari negara-negara seperti Lebanon, Belgia, Rusia, Sudan dan Turki untuk mengembangkan apa yang sudah dilakukan oleh NU-Afghanistan. Mereka merujuk pada konsep Islam Nusantara yang dijalankan NU. Yang paling mengagetkan ada 168 masjid di Belgia yang sangat ingin agar ada orang NU bisa jadi imam di sana.”
“Saya baru kembali dari penempatan di Paris, yang bersebelahan dengan Belgia. Memang masalah ekstremisme akhir-akhir ini tumbuh di kedua negara, jadi wajar jika mereka ingin mengatasi hal ini, menjaga agar masjid tetap moderat. Permohonan ini sudah saya sampaikan ke NU,” tambah Arifi Saiman.
Nadhlatul Ulama memang kerap menjadi aktor perdamaian, antara lain yang patut dicatat adalah ketika berhasil mempertemukan kelompok Sunni dan Syiah di Irak dan Qatar. Dan kini di Afghanistan.
“Saya juga yakin konsep Islam Nusantara NU ini mampu menepis Islamophobia dan mampu membuat negara-negara lain memahami bahwa Islam tidak seekstrem yang mereka lihat, rasakan atau persepsikan selama ini.” (*)