SURABAYAONLINE.CO-Juru bicara Departemen Lingkungan dan Energi Australia mengatakan kepada ABC jika Indonesia bertanggung jawab untuk memeriksa apakah ada kandungan sampah plastik dalam kertas bekas yang dikirim dari negaranya.
Pernyataan ini sebagai tanggapan atas ditemukannya adanya unsur kesengajaan dari pihak Australia untuk memasukan sampah plastik ke dalam kertas bekas yang dikirim ke Indonesia.
Laporan penemuan ini dilakukan dari hasil investigasi lembaga Ecological Observations and Wetlands Conservations (Ecoton), yang berbasis di Jawa Timur.
Dalam sebuah pernyataan yang dikirim Departemen Lingkungan dan Energi Australia dikatakan standar untuk impor bahan daur ulang termasuk tingkat kontaminasinya adalah tanggung jawab negara penerima, dalam hal ini Indonesia.
“Jika tidak ada standar seperti itu, maka ini menjadi urusan negosiasi komersial antara perusahaan ekspor dan impor yang terlibat”.
Industri kertas di Indonesia hingga kini masih butuh membeli kertas bekas dari luar negeri sebagai bahan baku pembuatan kertas.
Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, dan Australia adalah lima negara pengekspor kertas bekas ke sejumlah pabrik di Jawa Timur.
Pekan lalu, sejumlah aktivis lingkungan menggelar unjuk rasa di depan kantor Konsulat Jenderal Australia di Surabaya, setelah menemukan adanya kandungan sampah plastik dalam kiriman kertas bekas dari luar negeri.
Prigi Arisandi, Direktur Ecoton di Jawa Timur mengatakan sampah plastik yang ditemukan diantaranya bungkus makanan, botol plastik, kantung plastik, bahkan beberapa popok dan pembalut.
“Kalau ternyata memang Australia menganggap Indonesia jadi tempat daur ulang harusnya ada perjanjian bukan diselundupkan,” kata Prigi kepada ABC Indonesia.
Beberapa dari sampah yang tidak bisa didaur ulang tersebut bahkan bertuliskan “Made in Australia” yang kemudian dijual kepada masyarakat sekitar untuk dipilah.
Sayangnya, kebanyakan sampah tersebut dibakar atau ditumpuk di pinggiran daerah aliran Kali Brantas yang dikhawatirkan berdampak terhadap kesehatan warga dan lingkungan.
“Saya akan sangat kecewa dan sulit dipercaya jika tingkat kontaminasi limbah setinggi itu diproduksi dari Australia,” ujar Gayle Sloan, Direktur Eksekutif Waste Management and Resource Recovery Association (WMRR) di Australia.
Baru-baru ini Dewan Daur Ulang Australia mengeluarkan pernyataan bahwa Australia sedang melakukan investasi daur ulang paling maju di dunia untuk menangani dampak pelarangan impor limbah luar negeri yang dilakukan China dan beberapa negara Asia lainnya.
Termasuk dalam investasi itu adalah infrastruktur canggih untuk meningkatkan proses pemilahan sampah.
Tapi Gayle mengatakan industri daur ulang di Australia sangat membutuhkan pemerintah dan politisi untuk menetapkan pengaturan kebijakan dan menunjukkan kepemimpinan soal ini, serta membeli konten daur ulang.
“Hal ini dilakukan untuk menghindari dampak lingkungan lokal, seperti pembakaran dan pembuangan yang telah terjadi di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam.”
Sementara itu, Elsa Dominish, pengamat senior dari Institute for Sustainable Future di University of Technology Sydney mengatakan secara teknis negara pengimpor limbah daur ulang, dalam hal ini Indonesia, bertanggung jawab untuk memeriksa barang yang masuk dan tingkat kontaminasinya.
Tapi ia menegaskan bahwa pendaur ulang di Australia juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan limbah yang diekspor adalah berkualitas dan tidak terkontaminasi, terutama jika dikirim ke negara-negara yang tidak memiliki kapasitas untuk mengolahnya secara aman.
“Kita tidak mau daur ulang dari Australia menyebabkan polusi bagi lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan di negara-negara tetangga kita di Asia Tenggara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia serta perusahaan yang mengimpor kertas bekas tidak memberikan tanggapan hingga berita ini diterbitkan.(*)