SURABAYAONLINE.CO —Apa itu demokrasi? Demokrasi diartikan suatu kepercayaan pada kebebasan dan kesetaraan antara orang-orang, atau suatu sistem pemerintahan berdasarkan pada kepercayaan tersebut, di mana kekuasaan dipegang oleh wakil-wakil terpilih atau secara langsung oleh rakyat itu sendiri (Online-Cambridge Dictionary). Alvi Toffler (1970) pernah memprediksikan tiga gelombang masyarakat: Agraris, Industri, dan Informasi. Belum sempat mikirkan masyarakat digital. Namun, prediksinya jelas. Akan ada kekacauan: shock, dalam kehidupan dengan arus informasi yang dahsyat.
Sekejap merenungkan alam digital. Hidup di alam masyarakat digital. Di dalam peristiwa pilihan presiden (Pilpres 2019) ini, situasi sangat kompleks. Kebebasan dalam masyarakat digital berbeda. Jika dalam tatanan kehidupan nyata itu lain halnya. Ada wilayah. Ada pimpinan. Ada jumlah anggota, rakyat. Jelas sekali! Jadi, pikirannya bisa ditata rapi. Suaranya dirumuskan. Idenya diwujudkan. Kemudian, diimiplementasikan. Jelas alias gamblang. Tentu, dalam sebuah sistem.
Dalam masyarakat digital, sulit! Semua memiliki kekuasaan. Semua punya ide. Semua punya keputusan sendiri. Serakah! Semua punya nilai-nilainya sendiri. Pokoknya, akulah yang punya. Yang lain itu beda. Jika semua berpendirian seperti ini, maka kacaulah negeri.
Jangan sampai ada ilmuan yang terjebak. Mereka bisa masuk perangkap. Idenya selalu nomor satu. Pikirannya minta didengar. Bahasanya sering keras. Semua adalah haknya. Semua adalah benar. Rakyat bingung. Rakyat percaya. Rakyat sangsi. Rakyat ragu betul. Kecewa. Mereka bergumam. Mana yang benar. Masyarakat digital sudah bukan bertatanan. Jangan terjebak!
Dalam situasi seperti itu, terjadi hati berontak. Hampir para fanatikus jimprak jimprak. Mereka saling menghujat. Mereka bersama-sama menyatakan orang lain buruk. Buruk dalam bersikap. Buruk dalam bertema. Buruk dalam memprediksi. Buruk dalam simpulan. Semuanya kabur dan tidak transparan. Masyarakat digital serba tanggung. Mereka kabur dan buram.
Siapa yang bertanggungjawab situasi seperti ini? Ilmuankah? Pemerintahkah? Masyarakat awamkah? Maysrakat nyatakah? Atau, masyarakat digital? Kemudian, mereka dibiarkan ganas. Mereka dibiarkan berjimprak jimprak? Semakin liar dan semakin ganas. Masyarakat digital tanpa tatanan jelas.
Dalam kondisi ini, diperlukan hati nurani yang bersih. Hati nurani yang jernih. Hati nurani yang mau mengendalikan diri. Bersabar dan bertawakal. Kemudian, mereka mau memberikan kejernihan. Kejernihan dalam berpikir. Negeri ini milik siapa?
Bangsa Indonesia bangsa yang besar. Sejak dulu senantiasa dipecah belah. Politik model feodalisme yang cocok adalah devide et impera. Tetapi, itu dulu. Sekarang kita sudah sadar. Saat ini, bukan saat dahulu kala. Saat ini kita sudah banyak belajar dan berilmu. Merdeka sudah seumur buyut dengan banyak cucu dan canggah. Maukah kita di “devide et impera?”
Mari kita bangun bangsa ini. Mari kita rajut nilai-nilai universal kita. Satu nusa, satu bangsa, dan satu Bahasa. Ini bukan janji palsu. Ini deklarasi kebangsaan leluhur kita. Kita harus bertanggunjawab. Kita harus melestarikan kejayaan negeri besar ini. Negeri yang aman sentausa. Gemah ripah loh jinawi. Toto tentrem kerta raharjo.
Bangsa yang kuat tidak akan hancur. Apalagi hanya beda pilihan. Banyak nilai-nilai yang bisa kita rajut. Bangsa Indonesia bangsa yang besar. Semua harus dilindungi. Ras, agama, golongan, dan jenis apa saja perbedaan itu. Satu nusa satu bangsa. Hanya orang yang lupa yang mudah terjebak. Lupa kodrat bangsa yang lahir dari kemerdekaan. Perjuangan leluhur kita dahulu. Tidak bisa kita sia-siakan. Ini dampak masyarakat digital. Masyarakat tanpa aturan. Masyarakat tanpa batas wilayah.
Kita jangan terjebak. Ini pertengkaran di alam digital. Sangat sengit dan bengis. Kecuali bagi mereka yang sadar. Sadar akan kodrat ilahi. Lahir di sebuah negeri hasil kemerdakaan leluhur kita. Mari kita junjung bersama. Satu nusa satu bangsa, dan satu Bahasa, yaitu Indonesia.
Kita hidup di alam resmi. Wilayah jelas. Bukan di alam masyarakat digital: masyarakat tanpa batas-batas sistem yang jelas. Berastulah. Ilmuan tidak boleh terjebak. Mereka meberikan wawasan yang benar dan jujur. Bertutur yang baik dan menjernihkan. Bersatulah. Jangan terjebak dalam masyarakat digital tanpa batas dan sistem: Ganas!
Penulis adalah dosen STIE Perbanas Surabaya, President of International Association of Scholarly Publishers, Editors, and reviewers (IASPER).
Add A Comment