SURABAYAONLINE.CO –— Panasnya suhu politik rawan adanya konflik. Itu sebabnya, pertama-tama media menjadi kunci utama. Kedua, para pembicara atau figur publik. Dari tinjauan figur publik, rakyat bisa melihatnya dengan jeli. Kejelian itu ada kuncinya. Dalam hal tata cara pembicara di muka publik (public speaker), mereka butuh tiga kriteria: Ethos, Pathos, dan Logos.
Siapapun yang ngomong bisa dilihat sukses tidaknya dari tiga faktor. Pertama, etos. Etos ini terkait diri pribadi Sang pembicara. Di depan publik, termasuk media, Si pembicara bisa sukses bisa tidak terkait apa yang disampaikan kepada publik. Etos terkait diri pribadinya.
Kalau politisi, dia harus refleksi diri. Misalnya, ketika dia berbicara tentang buruknya korupsi, dia harus menunjukkan bahwa dia sendiri bebas korupsi. Selams perjalanan hidupnya, dia memiliki bukti harus bebas dari perilaku itu. Akan lebih afdol, jika ini ditunjukkan data atau catatan pribadinya.
Jika Si pembicara itu seorang religius atau agamawan, dia harus menunjukkan bukti-bukti apa yang dia ucapkan. Misalnya, bahwa menolong sesama itu baik dan berpahala. Dia berbicara bahwa kita harus melakukannya. Dia akan kridebel di depan pendengar atau pembaca, jika dia sendiri menunjukkan pengalaman bannyak menolong orang. Jika dia mengatakan bahwa menghina itu berdosa, maka dia harus terbukti bahwa dia tidak pernah menghina. Riwayat hidupya akan dibaca pendengar di manaa berbicara. Atau, oleh pembaca, di mana dia menulis gagasanya itu.
Tidak hanya politisi maupun seorang agamawan. Seorang Instruktur atau pembicara seminar sama saja. Ketika, dia berbicara bahwa meneliti itu sikap terpuji, maka dia harus bisa menunjukkan bahwa dia sendiri juga selalu atau pernah meneliti. Jika dia mengajarkan teori tentang penulisan karya ilmiah, maka dia harus bisa menunjukkan bukti bahwa dia juga pernah menulis karya ilmiah. Itu sebabnya, kurikulum vitae sering disampaikan oleh panitia.
Semua itu contoh-contoh bahwa etos berperan penting dalam public speaking. Figur publik harus memahami itu. Politisi juga harus mengerti itu. Instruktur atau guru juga harus mengenal itu. Bahwa, Etos merupakan salah satu kunci memberikan sukses tidaknya proses publik speaking.
Bagaimana dengan Pathos? Pathos itu terkait suasana batin siapa yang kita ajak bicara. Siapa pendengar kita?. Siapa pembaca kita? Jadi, jika pembaca tulisan kita atau jika audiens mendengar kita sebagai pembicara, maka pahamilah suasana nyata audiens kita. Politisi dalam politik harus paham, kita-kira apa yang terjadi di dalam suasana di masyarakat. Itu bisa diangkat dengan solusi yang baik. Fenomena saat yang terjadi saat ini sangat baik untuk dibahas. Problema di masyarakat saat ini itu topik baik. Itu bisa dijadikan topik bahasan dan diuraikan dengan penalaran. Dituntaskan dengan solusi.
Jika itu seorang agamawan, dia harus tahu apa yang terjadi di masyarakat. Masalah-maslaah rutin yang terjadi dibahas tuntas dengan solusi dan penalaran yang baik terkait nilai-nilai agamanya. Begitu juga para instruktur atau guru. Topik bisa sudah ditentukan di awal. Namun, ketika di dalam proses apa yang terjadi, maka topik itulah yang diangkat dan dikaitkan dengan tujuan utamanya.
Jangan hanya kaku sesuai dengan rencana. Bahasan bisa terjadi di luar rencana ketika ada masalah yang ditanyakan. Topik saat itu akan menjadi bahasan menarik apalagi diberi solusi. Persoalan apa yang terkait dengan topik bahasan yang nyata? Itulah yang dibahas, bukan kaku pada materi yang dituliskan. Dalam teori pengelolaan kelas (classroom management) ini disebut contingency. Itu bahasan yang paling menarik di dalam susasana batin audiens yang nyata.
Dan, terakhir terkait dengan logos. Losgos berkaitan dengan pola pikir logis. Seorang pembicara harus mampu berpikir logis. Penalaran dibutuhkan. Ketika ethos dan pathos sudah dipenuhi, maka tugas pembicara harus menyampaikan pikiran-pikirannya secara logis. Logis dalam arti pemaparan sesuai dengan masalah yang terjadi dan dibahas, diuraikan secara rinci, dan tuntas dengan solusi. Hindarilah berbicara tentang sesuatu di luar kemampuan. Ini untuk menghindari ketiakaturan berpikir secara logis.
Logos memerlukan pelatihan. Logos memerlukan pengalaman. Logos merupakan kebiasaan berpikir sistematis. Berbcara terkait dengan topik dalam kehidupan disertai contoh bukti. Contoh itu akan lebih afdol jika berupa pengalaman yang dilakukan. Urutanya akan seperti kenyataan yang dipaparkan karena berupa pengalaman pribadi.
Jadi, Ethos terkait atribute pribadi. Pathos terkat pemahaman terhadap publik atau pendengar atau audiens dan pembaca. Adapun logos merupakan kemampuan berpikir logis. Jika semua itu terpenuhi, maka public speaker, baik itu politisi, agamawan, dan instruktur atau guru, mereka berdampak positif terhadap audiensnya. Figur-figur seperti itu bisa berpengaruh pada siapa yang diajak berbicara. Tindakannya bisa berdampak terhadap perubahan perilaku audiensnya. Semangatnya akan diikuti oleh audiensnya, pemabcanya, atau pendengarnya.
Penulis adalah Pengamat Pendidikan dan Sosial; President of International Association of Scholarly Publishers, Editors, and Reviewers (IASPER); dosen STIE Perbanas Surabaya.
Add A Comment